Kamis, 26 Maret 2009

Koalisi: Mencermati 'Langkah Kuda' Golkar

Jika tak mampu menembus 25 persen perolehan suara nasional atau 20 persen kursi pada Pemilu 9 april 2009, maka Parpol kesulitan mengusung calon Presiden sendirian. Itu berarti harus ada koalisi dengan satu atau lebih partai lain, agar mampu menembus batas yang ditetapkan KPU. Adakah partai yang mampu? Jawabannya....sulit! Maka tak heran jika sekelas Partai Demokrat, yang konon paling yakin pun, kini mulai was-was.

Koalisi, sepertinya segera menjadi langkah yang harus disiapkan setiap parpol untuk mengusungCapres. Sepertinya para petinggi parpol, sudah mulai celingukan kesana kemari. Ada yang sok malu-malu, sok gengsi, sok membela harga diri. Munculnya Golden Triangle (Golkar-PDIP-PPP), lalu Golden Brigde (Langkah Partai Demokrat) atau Golden-golden yang lain, adalah cerminan klaim-klaim sesaat, yang sengaja dihembuskan untuk saling menaikkan bargaining position partai. Namun yang bicara, pastilah hasil rapor 9 April nanti...

Prediksi saya, semua partai akan bisa melakukan koalisi kecuali PDI Perjuangan dengan Partai Demokrat. Karena yang ada sekarang Partai Politik dibentuk untuk kekuasaan. Maka kekuasaan nantinya adalah dibentuk secara koalisi, seperti yang telah berlangsung sekarang. PDI Perjuangan memilih oposisi, lebih karena faktor emosi personal dari Mega. Di Indonesia sebenarnya belum pernah ada partai oposisi, karena secara pragmatis akan merugikan bagi berlangsungnya eksistensi Parpol, karena terputusnya pula akses dana parpol. Di Indonesia, sudah lazim jika dana parpol sebagaian besar didapat dari anggaran pemerintah (atau berbagai keuntungan yang diperoleh dari proyek-proyek pemerintah). Walaupun sebenarnya kehadiran oposisi sangat diperlukan untuk menyeimbang suara di DPR dan menjadi pengontrol yang efektif bagi berbagai kebijakan pemerintah jika dipandang tidak pro rakyat.

Mega dan PDIP, sekali lagi harus memutuskan tetap menjadi oposisi jika kalah dalam Pemilu 2009. Kita lihat saja seberapa tahan partai ini, ikut menanggung sikap emosional seorang Mega yang demikian mendalam terhadap SBY. Hanya saja, jika Mega menang, lain lagi persoalannya.

SBY-JK pecah kongsi?

JK sebenarnya tidak ingin pecah kongsi dengan SBY, karena selama masa pemerintahannya JK cukup banyak ikut berperan dalam berbagai kebijakan ekonomi (kenaikan harga BBM, konversi minyak tanah ke gas, BLT, PNPM, dll). Apalagi pada Pemilu 2004 sebenarnya JK harus berterima kasih pada SBY yang mengajak JK jadi Wapresnya, tanpa melalui Golkar sebagai institusi. Sedang Golkar secara resmi mencalonkan Wiranto, yang memenangkan konvensi didampingi Solahudin Wahid. Langkah JK sebenarnya bisa merugikan Golkar secara instutusi, yang telah mencalonkan Wiranto. Tetapi Akbar Tanjung juga tidak bisa berbuat apa-apa. Selain secara pribadi sebenarnya juga tidak sreg dengan pencalonan Wiranto, juga tidak berupaya melarang JK maju dengan SBY..wong secara politik menguntungkan Golkar, karena bisa bermain di dua kaki.

Maka ketika SBY-JK terpilih menjadi Presiden dan Wapres, JK makin "pintar" memainkan kartunya. JK pada akhirnya merebut kursi tertinggi sebagai ketua Umum Golkar dari tangan Akbar Tanjung. Ini menjadi satu lagi keuntungan yang didapat JK dari jabatannya menjadi Wapres.

Nah, kalau kemudian JK mencalonkan diri sendiri sebagai Calon Presiden, memang tak sengaja. Ini tak lain karena tersinggung dengan pernyataan seorang pengurus partai Demokrat yang "mengejek" Golkar hanya akan meraih 2,5 persen suara di Pemilu 2009 ini. JK ikut meradang, lantas segera mengumumkan diri maju sebagai Calon Presiden dari Partai Golkar. Namun JK memang tahu diri. Elektabilitsanya yang rendah dibanding SBY dan Mega, membuatnya harus lebih hati-hati dalam melangkah. Semula JK sempat bimbang. Mau maju Capres repot, nggak maju nanti petinggi Golkar protes. Akhirnya JK pun nekat, maju jadi Capres. Yang penting menyelamatkan Golkar, sesuai kebutuhan untuk saat ini. Golkar harus mengajukan Capres sendiri, untuk mendongkrak kembali suara Golkar.

Aneh memang jika sebesar Golkar, partai pemenang, yang mampu meraih 21,62 persen suara pada Pemilu 2004, tidak memiliki calon Presiden sendiri dan hanya puas dengan cawapres dari Partai Demokrat yang hanya meraih 7,46 suara dalam Pemilu 2004. Dan bagi Golkar, akan kehilangan banyak suara jika hanya terus 'nebeng' dibalik nama SBY.

Maka sebagaimana kehendak DPD, maka disepakati partai Golkar akan mengusung Capresnya sendiri. Hanya saja, kemudian seolah-olah berbelok Capresnya adalah JK......(padahal konon ada beberapa Capres yang akan diusung termasyuk Sultan Hamengku Buwono X, tetapi kemudian dikatakan akan diputuskan pada Rapim setelah Pemilu caleg).

Bola sudah bergulir, partai Golkar telah memiliki JK sebagai (salah satu?) Capres. tetapi kemana jika perolehan suara Golkar tidak sampai 20 persen? Ya, satu-satunya cara yaitu koalisi. Yang pasti Golkar tidak pernah dan tidak ingin menjadi oposisi. Golkar selalu ikut serta merebut kekuasaan, jika tidak bisa meraih yang tertinggi, nanti Golkar pasti akan banyak akal. Kalau realitas politik tidak memungkinkan Golkar mengusung Capres, ya setidaknya Cawapres, kalau tidak ya, dibanyakin Menteri-menterinya. Yang penting, tetap ikut berada di pemerintahan alias berkuasa. titik.

Langkah kuda pun mulai dijalankan. Mendekati PDI Perjuangan, PKS, PPP serta partai-partai lainnya. Langkah ini dilakukan untuk membuka akses, agar tidak kagok alias mati langkah ketika hasil Pemilu 9 April 2009 bicara. Golkar akan menjadi bandul kekuasaan, yang bisa ke kiri dan ke kanan. Bisa ke SBY atau ke Mega. Dua Capres yang selalu mendominasi berbagai hasil polling tertinggi untuk Capres 2009.

Maka benarkah SBY-JK pecah? Lihat saja dalam tubuh DPP nya, ada banyak faksi yang bermain di banyak kaki, ibarat binatang kaki "seribu"tetapi bukan cuma kaki, Golkar bisa memiliki "seribu" wajah pula. Bisa saja SBY-JK kembali berduet, atau berbagai kemungkinan lain. Tak ada yang tak mungkin bagi Golkar untuk ikut berada di panggung kekuasaan. Yang jelas politik tetaplah Politik. Kalau pakai bahasa Politik yang penting adalah bagaimana melangkah sekarang, langkah berikutnya urusan nanti. Sekarang JK Capres, tetapi kalau nanti ya lihat saja....soal sudah janji pada konstituen, kalau akan mengusung Capres JK, ya kan bisa saja bilang...." Realitas politik menghendaki demikian...". Apa boleh buat.

(Catatan saya menunjukkan Golkar-lah yang menjadi kunci utama kemenangan KH Abdurrahman Wahid pada Sidang Umum MPR 1999, sehingga mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Hanya dua jam menjelang pemungutan suara, suara Golkar berpindah dari Mega ke Gus Dur)

.

Kampanye

Musim kampanye tiba, sebagaimana biasanya kampanye identik dengan arak-arakan, panggung dengan penampilan para artis, yang diselipi orasi berbusa-busa para jurkam (juru kampanye). Ada yang berbeda dari Pemilu 2004 lalu, kali ini (karena keputusan Mahkamah Konstitusi) maka yang dicontreng (tak lagi dicoblos seperti Pemilu 2004) adalah figur-figur alias nama-nama Caleg.

Yah, karena yang bersaing bukan cuma antar Partai, tetapi juga antar Caleg nama kampanye kali ini, juga agak lain. Nomor urut yang semula ditentukan oleh partai, kini tak berlaku lagi. Maka berarti Pemilu 2009 murni distrik tidak lagi memilih partai tetapi memilihi orang. Masing-masing Caleg, boleh dibilang wajib berjuang, berkampanye, bahkan bisa jadi membiayai sendiri, agar bisa meraih suara sebanyak-banyaknya. Tak heran jika spanduk-spanduk yang memenuhi sepanjang jalanan, pohon-pohon, bahkan yang ditempel di sembarang tempat diisi dengan penuh warna. Ada foto diri, dengan berbagai pose, nama diri lengkap dengan tanda contreng merah, nomor urut caleg, nomor urut parpol serta gambar parpol. Wah, pokoknya ruwet dan bikin bingung.

Nah kalau melihat setiap hari di TV, berita-berita kampanye ya begitu-begitu aja. Orasi-orasi para jurkam, ditengah ribuan orang, menghadirkan artis-artis penyanyi. Partai Demokrat yang mengusung SBY adalah yang paling kuat modalnya. Maka tak heran jika Partai Demokrat mampu menyewa Stadion Gelora Bung Karno sebagai tempat berkampanye plus memenuhinya dengan lebih dari puluhan ribu pendukung lengkap dengan sound system yang prima dan tim artis-artis top ibukota . Toh meski berkapasitas 120 ribu orang, yang datang hanya separuhnya saja. Itupun mereka hanya bertahan beberapa jam, karena kepanasan. Untung ada Changcuters, Dewi Yul, Edwin, Jodi, yang mampu sedikit menyegarkan suasana. Orasi SBY, nampaknya kurang bisa mengajak mereka mau bertahan lama. Maka SBY yang sebelumnya dijadwalkan tampil 3 kali termasuk menyanyi "Sempurna", nya Andra& the backbone, akhirnya hanya orasi hanya sekali, itupun dengan durasi hanya beberapa menit saja. Setiap kampanye SBY menampilkan tim kompak. Selain Ani Yudhoyono (isteri), Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo (ipar) tak ketinggalan Edi Bhaskoro Yudhoyono (anak), selalu berada di barisan pertama mendampingi SBY di panggung kampanye.


PDIP juga berkampanye dengan cara yang sama. Bedanya Megawati Soekarnoputri (yang juga didampingi Taufik Kiemas (suami) dan kadang-kadang Puan Maharani (anak), selalu tampil emosional. Sebagian besar isi kampanyenya adalah kritik terhadap SBY. Mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kata Mega tidak mendidik dan menganggap rakyat seperti pengemis, hingga langkah pemerintah yang seperti yoyo, tingginya harga sembako, dll. Namun belakangan Mega mulai kikuk dengan kritiknya terhadap BLT, yang disinyalir malah bisa memukul balik partainya, karena dianggap tidak pro wong cilik, akhirnya Mega berbelok arah. Dari semula yang "anti BLT", menjadi "akan mengawasi" penyaluran BLT.

Kampanye di TV, lebih efektif?
Yang partai besar (Modal besar-red) macam Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, PKS dan sekarang bertambah dengan Gerindra, saling bersaing membuat iklan yang diputar sebanyak-banyaknya di TV. Kampanye melalui iklan TV masih dipandang sebagai kampanye yang paling efektif, dibanding pawai atau rapat akbar.

Setidaknya kampanye TV melalui PSA dimulai oleh Sutrisno Bachir (SB). Sejak jauh-jauh dari SB amat gencar mengenalkan siapa dirinya, melalui PSA. "Hidup adalah Perjuangan...", katanya mengutip sebait sajak Khairil Anwar. Lalu disusul Rizal Malarangeng, yang juga aktif kampanye "menjual" diri di TV entah untuk apa.

Prabowo, melalui TV juga sedikit banyak mencuri simpati publik. Image Prabowo di TV adalah seorang yang amat peduli dengan kesejahteraan, concern dengan petani, pedagang tradisional serta produk dalam negeri. Image baru Prabowo, seolah menghapus masa lalu Prabowo.

Kampanye, ya namanya juga kampanye...yang dijual adalah janji-janji..sama seperti menjual kecap....pasti tidak ada yang menjual kecap nomor 2....