Selasa, 14 April 2009

Wah!…Prabowo Capres, Mega Bisa Gagal Lagi


Belakangan langkah kaki Prabowo semakin lincah. Perolehan suara Pemilu 2009 yang hanya 5 persen tidak menghentikan langkah Prabowo, apalagi frustrasi. Kini Prabowo sedang mempersiapkan diri membentuk blok P (Blok Prabowo) yang akan mengusung dirinya menjadi calon Presiden.

Tak sampai seminggu setelah pencontrengan Pemilu 2009, Prabowo telah menghimpun lebih 20-an dari partai gurem, untuk menyatukan gerak dengan maksud untuk mengkritisi hasil Pemilu 2009. Dia juga secara aktif bertemu tokoh-tokoh partai, mulai Megawati, lalu bahkan tak segan-segan membuka kembali komunikasi dengan musuh bebuyutannya Wiranto, dengan maksud yang sama. Apapun maksud awal pertemuan-pertemuan itu, yang pasti Prabowo telah merintis jalan dengan membuka jalur komunikasi dengan semua partai, termasuk partai-partai kecil yang sering dipandang sebelah mata. Belakangan akhirnya Prabowo “menggarap” PPP dan PAN secara lebih seirus. Rencana mengadakan pertemuan dengan petinggi PKS, ternyata gagal, karena kebimbangan PKS sendiri.

Nah, kalau kita jeli mari berhitung jumlah suara yang bisa dikumpulkan Prabowo dari seluruh 'remah-remah' suara dari sekitar 22 partai gurem yang telah dihimpun Prabowo, jumlah total partai gurem bisa terkumpul 15 persen suara, ditambah gerindra 5 persen, plus PPP dan Hanura berarti limitl 25 persen suara bisa tercapai, maka loloslah Prabowo untuk bisa mencalonkan diri menjadi Presiden 2009. Angka ini belum termasuk jika PAN bergabung. Jadi langkah Prabowo hanya tinggal finalisasi, dengan PAN. Bisa jadi Prabowo akan menawari PAN kursi Wapres, mengingat Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir memiliki keinginan kuat menjadi Cawapres. Jika PAN menerima berarti akan ada pasangan baru dari blok P, dengan pasangan Prabowo- Sutrisno Bachir.

Mega Tersingkir?

Bagaimana nasib PDIP dengan Capresnya Megawati Soekarnoputri yang meraih 15 persen suara? Nasibnya makin mengkhawatirkan. Bisa-bisa Mega gagal menggenapkan 25 persen perolehan suara untuk memenuhi persyaratan lolos pencapresan dirinya.

Lihat saja, partai yang tersisa PBB, PKS keduanya akan lebih sreg bergabung dengan SBY daripada Megawati. Sedang PAN, bisa jadi masih gamang dengan tawaran SBY, Prabowo atau Megawati . Tetapi dua yang pertama tentu akan lebih menarik bagi PAN. Kalau dengan SBY lebih aman, karena kemungkinan besar menang dan dipastikan dapat jatah 3- 4 menteri. Sedang dengan Prabowo, kemungkinan besar akan mengusung nama Sutrisno Bachir jadi Cawapres, dan ada kemungkinan bersaing dengan SBY-JK, tetapi kalau dengan Megawati kemungkinan itu lebih kecil.

Jika ini terjadi, PDIP akan ditinggalkan. Ini kembali mengulang sejarah Pemilu1999, partai pemenang Pemilu gagal mengusung Capresnya sendiri dan malah dikalahkan oleh PKB yang hanya mendapat kurang dari 10 persen suara. Jika ini terjadi , PDIP berarti ibarat peribahasa "hanya keledia yang mau terantuk batu yang sama". Maka PDIP, kembalilah belajar melakukan langkah-langkah politik yang agresif, cerdas dan taktis. Ini permainan politik, bukan langkah biasa-biasa. Dan sebagaimana politik, jangan terlalu mengikutikan perasaan dalam berpolitik. Megawati hendaknya memisahkan dendam dan perasaan melownya dalam berpolitik. Kali ini jurus soap opera tidak laku lagi dimainkan karena Megawatai tidak tak bisa lagi mengandalkan simpati rakyat seperti yang dialaminya di zaman Orde Baru lalu. PDIP hingga kini masih terkesan pasif, lamban dan jual mahal. (Siane Indriani)

Senin, 13 April 2009

ANTARA BLOK S DAN BLOK M

Kemenangan SBY sudah diambang pintu, meski harus tidak boleh takabur atau lengah. Dari hasil Pemilu 2009 sesuai dengan hasil Qiuck Count, semakin menunjukkan adanya dua kubu di dua tempat yang berseberangan. Kubu Susilo Bambang Yudhoyono (Blok S) dan kubu Megawati Soekarnoputri (Blok M)

Meeskipun belum diproklamirkan, Partai Demokrat telah menjalin komunikasi dengan Golkar dan PKB. Untuk memulai melangkah ke arah koalisi. Sedangkan kubu Megawati, mulai menggandeng Gerindra dan Hanura.

Koalisi kali ini harus permanen, karena secara saklek, KPU telah mengharuskan tanggal 10 Mei 2009 sebagai batas akhir pengajuan Capres dan Cawapres. Berarti jika nanti ada putaran kedua dalam pemilu Capres, maka komposisi pasangan Capres dan Cawapres tidak boleh berubah.

Bukan hanya itu, SBY yang kali ini akan memasuki masa pemerintahan kedua, tentu saja belajar dari pengalaman masa lalu. Dengan perolehan 7 persen bagi SBY, agak kewalahan menghadapi ulah para poltikus. Meskipun ada parpol yang telah mendapatkan jatah menteri di kabinet Pelangi , tetap saja menghajar pemerintah melalui wakilnya di DPR. Tetapi kini ketika posisi SBY amat kuat kali ini, dengan perolehan PD yang 20 persen lebih, tentu ingin memerintah dengan lebih firm.. Tak heran kali ini SBY lebih berhati-hati dalam menjalin koalisi.


INILAH BLOK S

Partai Demokrat yang nasionalis, sebenarnya merasa nyaman dengan Golkar, yang memiliki platform sama. Selain itu, untuk memperkaya dukungan kalangan Islam harus juga dirangkul. Ada Partai Keadilian Sejahtera (PKS), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), mana yang akan dirangkul, mari kita analisis satu persatu:

PKS sejak kampanye sudah mendeklarasikan SBY sebagai partner koalisinya. Malah dalam kampanyenya PKS secara akal-akalan bahkan mengusung SBY sebagai Capres, dengan slogan “PKS partainya, SBY Capresnya”. Meskipun terkesan pro SBY, sebenarnya ini karena PKS menyedarai untuk saat ini hanya SBY yang memiliki elektabilitas yang sangat tinggi dibanding kader-kader PKS. Hidayat Nurwahid atau Tifatul Sembiring, bahkan tak ada apa-apanya dibanding SBY. Tetapi langkah PKS mengusung SBY menjadi Capres, juga membuat PD merasa tidak nyaman.

Hal lain yang membuat PD tidak nyaman adalah platform PKS yang terlalu kanan. PKS yang sejak dahulu kental dengan nuansa Islam sebagai partai dakwah, bahkan terasa hendak mengarahkan konten-konten syariah Islam dalam kehidupan bernegara secara lebih kental, makin membuat kubu SBY juga tidak nyaman, karena takut ditinggalkan konstituenya yang kebanyakan nasionalis dan pluralis. Ketika belakangan tiba-tiba PKS mengubah gaya kampanyenya menjadi sangat nasionalis, bahkan ke budaya ngepop, tetap saja tidak mampu mengubah imagenya, malah terkesan hanya sekadar ‘kamuflase’.

SBY membutuhkan komuntias Islam itu pasti. Dan dalam perjalanan sejarah, peta politik sejak Pemilu 1955 hingga kini, tidak banyak mengalami perubahan, termasuk juga pola politik aliran masih tetap eksis hingga kini. Kekuatan islam yang secara riil ada dalam masyarakat kita yang dominan antara lain Nahdlatul Ulama (NU) yang diwadahi oleh PPP dan PKB yang kemudian muncul lagi PKNU, serta Muhammaduyah yang diwadahi oleh PAN, yang kemudian muncul Partai Matahari Bangsa (PMB). NU dan Muhammadiyah, dalam kultur dan konsep kenegaraannya masih dianggap lebih pluralis dibandingkan PKS.

Dari perolehan suara yang masih signifikan adalah PPP, PKB (untuk NU) dan Pan (untuk Muhammadiyah). Maka dengan demikian PPP, PKB, PAN memenuhi persyaratan dan perlu diajak berkoalisi untuk memperkuat basis pengusaan massa di akar rumput.

Hanya saja melihat karakter SBY yang agak-agak melow, pasti agak sedikit sensitif melihat 'kegenitan' Surya Dhama Ali (SDA) , Ketua Umum PPP yang mendua, karena juga menjalin hubungan Golden Triangle dengan Megawati yang tak lain seteru utama SBY. Inilah lantas menempatkan PKB jadi faktor prioritas utama merangkul warga nahdliyin, dibanding PPP. Apalagi Gus Dur, sudah tidak lagi berada di PKB, karena tidak akan lagi merepotkan SBY.

PAN agak beda dengan PPP, meskipun Sutrisno Bachir juga tidak kalah genit dari SDA, posisinya masih dibutuhkan oleh SBY untuk menjaga keseimbangan. Dengan demikian, yang agak pasti akan terjadi koalisi antara : Partai Demokrat, Golkar, PKB dan PAN yang akan mengusung SBY-JK sebagai pasangan Capres dan Cawapres


BLOK M

Megawati hingga kini masih meradang dengan kakalahannya di pemilu 2004. Maka kali ini dengan perolehan suara yang hanya 15 persen, akan bertekad memimpin koalisi dengan Prabowo (Gerindra) yang mengantongi suara 5 persen dan Wiranto (Hanura) yang meraih 3 persen suara. Jika didukung dengan PPP ( 6 persen). Akan memiliki, total suara 29 persen.

Dengan kemungkinan ini bisa saja Mega akan menempatkan Prabowo sebagai Cawapresnya. Meskipun secara matematis perolehan suaranya di bawah PPP, tetapi dari segi popularitas dan akses dana, bisa saja PPP mengalah. Wiranto, akan mengalah karena perolehan suara Hanura berada di bawah Gerindra.

Maka dari kubu Blok M akan muncul capres Megawati- Prabowo yang didukung oleh koalisi PDIP, Gerindra, PPP dan Hanura.

Ada skenario agak nekat, yang mengajukan capres-cawapres Prabowo- Puan Maharani. Ide ini diajukan jika Megawati tak lagi berniat maju menjadi Capres. Memang, sudah menjadi rahasia umum jika PDIP adalah partai yang hanya mengandalkan trah Soekarno.. Walau ide ini terlalu absurd, mengingat POuan masih terlalu hijau dibanding dengan para kader lain di PDIP, sebut saja Pramono Anung, atau Tjahyo Kumolo. Tapi ya itulah, partai ini masih mengandalkan keluarg dan Mega pasti tidak rela tiket PDIP diserahkan orang lain selain keturunan genetiknya sendiri. Tapi seharusnya para tokoh PDIP tidak hanya AIS (Asal Ibu Senang), karena menjual Prabowo-Puan......nampaknya jauh dari laku....(Siane Indriani)

KOALISI = BAGI-BAGI JATAH MENTERI

Partai Demokrat Berjaya. Semua hasil quick count dari berbagai lembaga survey menempatkan Partai Demokrat di posisi puncak , pada klesemen hasil perhitungan Pemilu legislatif 2009 dengan 20 persen lebih. Sementara Partai Golkar dan PDIP diposisi kedua- ketiga, dengan perolehan suara antara 14 – 15 persen meskipun belum pasti mana yang lebih unggul. Meskipun baru hasil quick count tetapi sebagaimana pengalaman, hasil KPU tak akan jauh dari itu.

Dengan perolehan suara 20 persen lebih, berarti Partai Demokrat telah memenuhi persyaratan untuk mengajukan Calon Presiden sendiri, tanpa harus melakukan koalisi. Tetapi realitas Politik, mengharuskan Partai Demokrat melakukan koalisi, untuk melancarkan berbagai kebijakan, agar mendapat dukungan di parlemen. Jika hanya sendirian 20 persen, bisa-bisa nanti akan dikeroyok di DPR, setiap hendak melakukan suatu kebijakan. Ini karena saat ini posisi DPR yang teramat kuat. Hampir seluruh kegiatan pemerintahan, selalu harus diputuskan atau mendapatkan persetujuan dari DPR.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapatkan suara sekitar 7-8 persen dari versi quick count, se jak awal kampanye telah bersemangat menjalin koalisi dengan Partai Demokrat. Partai Amanat Nasional (PAN) yang mendapat 5 persen suara dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapat sekitar 5 persen suara, belakangan juga dekat dengan Partai Demokrat. Kalau menghitung jumlah keempatnya, total 37 persen, masih kurang jika untuk memenangkan parlemen, minimal 51 persen kursi DPR harus ditangan jika ingin memerintah dengan lancar.


Kemanakah Golkar?

Golkar yang kali ini hanya mendapatkan sekitar 15 persen, berada dalam posisi yang paling terpuruk. Baru kali ini berada posisi di bawah 20 persen. Secara kelembagaan bisa dibilang Golkar gagal mempertahankan kedigdayaannya selama ini. Tetapi kalau toh misalnya berada di atas Partai Demokrat sekalipun, apakah Golkar akan mengajukan Calon Presiden sendiri? Jawabannya adalah belum tentu. Karena tingkat elektiabilitas JK jauh dari SBY, sementara calon lain seperti Suiltan HB X akan sulit mendapat ‘tiket’, selama ketua umum dipegang oleh JK

Meroketnya suara Partai Demokrat dari sekitar 7 persen (2004) ke 20 persen (2009) tak bisa dipungkiri atas andil popularitas SBY. Ditambah lagi faktor incumbent, yang dalam posisi diuntungkan. Dari berbagai survey faktor SBY lah yang menjadi penentu kemenangan Paertai Demokrat. Dan Golkar, yang sebenarnya memiliki konstituen yang mirip dengan PD, tentu saja akan tergerus, demikian pula PDIP.

Golkar , sepanjang sejarah tidak pernah menjadi oposisi dan tak mungkin rela melepaskan jatah kekuasaan. Maka dipastikan Golkar akan tetap sharing dengan pemegang kekuasaan, yang tidak lain adalah SBY, yang kemungkinan besar akan menjadi presiden mendatang.



Langkah koalisi, adalah hal yang harus dilakukan. Sebagaimana sebelumnya, arah koalisi ini dikonkritkan dengan pembagian jatah Wakil Presiden dan kursi menteri. Hitungannya, tentu akan dikaitkan dengan jumlah perolehen suara atau kursi. Sebagai pemegang kursi kekuasaan hitung-hitungan secara matematis ini mutlak diperlukan agar terjadi keadilan. (Siane Indriani)