Sabtu, 16 Mei 2009

Skaak Mat....! Untuk Prabowo

Ambisi Prabowo untuk maju menjadi Capres penantang SBY pada Pemilu 2009 akhirnya kandas. Langkahnya terhenti, setelah tak mampu lagi mempertahankan “bargaining” nya dengan Megawati Soekarnoputeri. Apalagi hampir semua tiket yang bisa membawanya menjadi Capres, telah terpakai. Hanya tersisa 1 tiket terakhir, itupun punya Prabowo hanya minoritas, sedang mayoritas dimiliki oleh Megawati.

Tak ada pilihan lain, kecuali menerima posisi nomor dua, setelah Mega. Apabila Prabowo menolak dan tetap ngotot dengan prinsip “It's now or never” untuk Capres, maka ia tak hanya mengecewakan para konstituennya, tetapi juga menyakiti Mega dan pendukungnya yang sejak awal telah menunjukkan kedekatannya dengan Prabowo.

Sebelumnya, Prabowo sempat juga menjalin koalisi selain dengan PDIP. Antara lain dengan PPP, PAN, maupun dengan 20 parpol kecil. Dengan hitung-hitungan kasar, PPP ditambah PAN dan Gerindra, hanya tinggal tambahan beberapa persen dari parpol kecil, sudah bisa mengusung Prabowo- Sutrisno Bachir sebagai Capres dan Cawapres. Ini adalah langkah alternatif yang disiapkan Prabowo untuk menuju RI-1.

Tetapi rencana ini pelan-pelan pupus, setelah masing-masing parpol didera konflik internal, akibat tergiur tawaran SBY. Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP yang sebelumnya amat mendukung Prabowo, diancam akan dilengserkan, jika partainya tidak mendukung SBY, yang dianggap memiliki peluang menang lebih besar dari Prabowo.

Demikian juga PAN, yang karena tergiur kekuasaan karena iming-iming jabatan Cawapres. Hatta Rajasa, memaksa Amien Rais untuk merebut tiket PAN untuk diberikan kepada SBY. Dengan berbagai manuver yang terkesan dipaksakan dan kurang etis dipandang dari fatsoen politik, akhirnya "memaksa" Sutrisno Bachir, menyetujui keputusan Rapim yang mendukung SBY dan mencalonkan Hatta Rajasa sebagai Cawapres mendampingi SBY.

Komitment parpol tak lagi bisa dipercaya. Demikiam juga puluhan parpol kecil yang sebelumnya menolak SBY karena berbagai kecurangan Pemilu dan menyatakan rencana berkoalisi dengan Prabowo, belakangan rontok satu demi satu karena lebih memilih bergabung dengan Partai Demokrat yang menjanjikan kompensasi di berbagai jabatan jika SBY terpilih jadi Presiden,

Situasi semakin mengkristal, ketika JK-Wiranto memastikan maju sebagai Capres dan Cawapres yang pertama. Langkah keduanya seolah menarik diri dari koalisi besar “Teuku Umar” (yang memang dipersatukan secara instant dengan kepentingan yang sama, kecewa pada berbagai kecurangan Pemilu). Koalisi besarpun yang semula mengusung kepentingan bersama, makin lama makin terkikis.

PDIP yang gelisah karena tak juga mampu menaklukkan Prabowo, hampir menyerah, ketika dirayu oleh Hatta Rajasa, yang tiba-tiba saja datang dan mengaku utusan SBY. Kelompok Taufik Kiemas, dkk nyaris mengibarkan bendera putih, menerima saja tawaran beberapa posisi Menteri dan bergabung dengan SBY, daripada menyia-nyiakan tiket, yang itupun tidak mencukupi untuk maju sendiri, tanpa berkoalisi dengan Gerindra. Namun semua rencana prakmatis itu ditolak mentah-mentah oleh Mega, yang tetap mencoba mempertahankan harga dirinya dan tetap pada pilihannya yakni maju dengan Prabowo.

Kecewa Pada SBY

Pilihan SBY yang pada akhirnya menetapkan Boediono sebagai Cawapres, tentu saja membuat PAN, PKS kecewa. Padahal PAN menurut Amien Rais yang telah bertemu secara langsung dengan SBY, telah yakin betul bahwa Hatta Rajasa akan dipilih menjadi Wakil Presiden. Hal yang sama juga dialami PKS, yang secara amat yakin SBY akan memilih salah satu kader PKS, ternyata meleset.

Ancaman PKS dan PAN, sehari menjelang pengukuhan SBY-Boediono, memberikan harapan bagi Prabowo untuk menghidupkan kembali rencana lama menyandingkan diringa dan Sutrisno Bachir sebagai pasangan dengan dukungan PAN-Gerindra dan PPP yang secara diam-diam ketiganya masih menjalin hubungan .

Tetapi apa hendak dikata. Ternyata secara matematika hitung-hitungannya belum mencukupi untuk mengusung pasangan Prabowo-SB. Sementara deal dengan parpol-parpol kecil pun terasa melelahkan karena tidak terlalu signifikan hasilnya. Ditambah lagi belakangan Gerindra malah kehilangan 4 kursinya di DPR.

Manuver saling kunci, penuh aroma prakmatisme yang haus kekuasaan, membuat hampir semua parpol selain Partai Demokrat, kehilangan kemandirian dan kepercayaan diri. Langkah Prabowo pun akhirnya terkunci. Ibarat permainan catur, Skak Mat…! untuk Prabowo. Langkahnya pun terhenti! Tak bisa lain kecuali menjadi Cawapres mendampingi Megawati. Namun melihat perolehan partai Gerindra yang baru pertamakali ikut dalam Pemilu, tetapi mampu masuk 9 besar parpol yang lolos Parliamentary Treshold, sudah menunjukkan betapa "berbahayanya" figur Prabowo bagi SBY.

Toh setidaknya masih ada waktu bagi Prabowo untuk maju, yakni pada 2014 nanti, saat SBY tak bisa lagi mencalonkan diri. Setidaknya Prabowo telah melakukan investasi Politik, sebagaimana yang juga pernah dialami SBY. Juga pembelajaran Politik bagi Prabowo, agar tidak cepat jumawa, karena terkesan begitu mudahnya menaklukkan panggung Demokrasi ini.(Siane Indriani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar