Sabtu, 16 Mei 2009

Skaak Mat....! Untuk Prabowo

Ambisi Prabowo untuk maju menjadi Capres penantang SBY pada Pemilu 2009 akhirnya kandas. Langkahnya terhenti, setelah tak mampu lagi mempertahankan “bargaining” nya dengan Megawati Soekarnoputeri. Apalagi hampir semua tiket yang bisa membawanya menjadi Capres, telah terpakai. Hanya tersisa 1 tiket terakhir, itupun punya Prabowo hanya minoritas, sedang mayoritas dimiliki oleh Megawati.

Tak ada pilihan lain, kecuali menerima posisi nomor dua, setelah Mega. Apabila Prabowo menolak dan tetap ngotot dengan prinsip “It's now or never” untuk Capres, maka ia tak hanya mengecewakan para konstituennya, tetapi juga menyakiti Mega dan pendukungnya yang sejak awal telah menunjukkan kedekatannya dengan Prabowo.

Sebelumnya, Prabowo sempat juga menjalin koalisi selain dengan PDIP. Antara lain dengan PPP, PAN, maupun dengan 20 parpol kecil. Dengan hitung-hitungan kasar, PPP ditambah PAN dan Gerindra, hanya tinggal tambahan beberapa persen dari parpol kecil, sudah bisa mengusung Prabowo- Sutrisno Bachir sebagai Capres dan Cawapres. Ini adalah langkah alternatif yang disiapkan Prabowo untuk menuju RI-1.

Tetapi rencana ini pelan-pelan pupus, setelah masing-masing parpol didera konflik internal, akibat tergiur tawaran SBY. Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP yang sebelumnya amat mendukung Prabowo, diancam akan dilengserkan, jika partainya tidak mendukung SBY, yang dianggap memiliki peluang menang lebih besar dari Prabowo.

Demikian juga PAN, yang karena tergiur kekuasaan karena iming-iming jabatan Cawapres. Hatta Rajasa, memaksa Amien Rais untuk merebut tiket PAN untuk diberikan kepada SBY. Dengan berbagai manuver yang terkesan dipaksakan dan kurang etis dipandang dari fatsoen politik, akhirnya "memaksa" Sutrisno Bachir, menyetujui keputusan Rapim yang mendukung SBY dan mencalonkan Hatta Rajasa sebagai Cawapres mendampingi SBY.

Komitment parpol tak lagi bisa dipercaya. Demikiam juga puluhan parpol kecil yang sebelumnya menolak SBY karena berbagai kecurangan Pemilu dan menyatakan rencana berkoalisi dengan Prabowo, belakangan rontok satu demi satu karena lebih memilih bergabung dengan Partai Demokrat yang menjanjikan kompensasi di berbagai jabatan jika SBY terpilih jadi Presiden,

Situasi semakin mengkristal, ketika JK-Wiranto memastikan maju sebagai Capres dan Cawapres yang pertama. Langkah keduanya seolah menarik diri dari koalisi besar “Teuku Umar” (yang memang dipersatukan secara instant dengan kepentingan yang sama, kecewa pada berbagai kecurangan Pemilu). Koalisi besarpun yang semula mengusung kepentingan bersama, makin lama makin terkikis.

PDIP yang gelisah karena tak juga mampu menaklukkan Prabowo, hampir menyerah, ketika dirayu oleh Hatta Rajasa, yang tiba-tiba saja datang dan mengaku utusan SBY. Kelompok Taufik Kiemas, dkk nyaris mengibarkan bendera putih, menerima saja tawaran beberapa posisi Menteri dan bergabung dengan SBY, daripada menyia-nyiakan tiket, yang itupun tidak mencukupi untuk maju sendiri, tanpa berkoalisi dengan Gerindra. Namun semua rencana prakmatis itu ditolak mentah-mentah oleh Mega, yang tetap mencoba mempertahankan harga dirinya dan tetap pada pilihannya yakni maju dengan Prabowo.

Kecewa Pada SBY

Pilihan SBY yang pada akhirnya menetapkan Boediono sebagai Cawapres, tentu saja membuat PAN, PKS kecewa. Padahal PAN menurut Amien Rais yang telah bertemu secara langsung dengan SBY, telah yakin betul bahwa Hatta Rajasa akan dipilih menjadi Wakil Presiden. Hal yang sama juga dialami PKS, yang secara amat yakin SBY akan memilih salah satu kader PKS, ternyata meleset.

Ancaman PKS dan PAN, sehari menjelang pengukuhan SBY-Boediono, memberikan harapan bagi Prabowo untuk menghidupkan kembali rencana lama menyandingkan diringa dan Sutrisno Bachir sebagai pasangan dengan dukungan PAN-Gerindra dan PPP yang secara diam-diam ketiganya masih menjalin hubungan .

Tetapi apa hendak dikata. Ternyata secara matematika hitung-hitungannya belum mencukupi untuk mengusung pasangan Prabowo-SB. Sementara deal dengan parpol-parpol kecil pun terasa melelahkan karena tidak terlalu signifikan hasilnya. Ditambah lagi belakangan Gerindra malah kehilangan 4 kursinya di DPR.

Manuver saling kunci, penuh aroma prakmatisme yang haus kekuasaan, membuat hampir semua parpol selain Partai Demokrat, kehilangan kemandirian dan kepercayaan diri. Langkah Prabowo pun akhirnya terkunci. Ibarat permainan catur, Skak Mat…! untuk Prabowo. Langkahnya pun terhenti! Tak bisa lain kecuali menjadi Cawapres mendampingi Megawati. Namun melihat perolehan partai Gerindra yang baru pertamakali ikut dalam Pemilu, tetapi mampu masuk 9 besar parpol yang lolos Parliamentary Treshold, sudah menunjukkan betapa "berbahayanya" figur Prabowo bagi SBY.

Toh setidaknya masih ada waktu bagi Prabowo untuk maju, yakni pada 2014 nanti, saat SBY tak bisa lagi mencalonkan diri. Setidaknya Prabowo telah melakukan investasi Politik, sebagaimana yang juga pernah dialami SBY. Juga pembelajaran Politik bagi Prabowo, agar tidak cepat jumawa, karena terkesan begitu mudahnya menaklukkan panggung Demokrasi ini.(Siane Indriani)

Selasa, 14 April 2009

Wah!…Prabowo Capres, Mega Bisa Gagal Lagi


Belakangan langkah kaki Prabowo semakin lincah. Perolehan suara Pemilu 2009 yang hanya 5 persen tidak menghentikan langkah Prabowo, apalagi frustrasi. Kini Prabowo sedang mempersiapkan diri membentuk blok P (Blok Prabowo) yang akan mengusung dirinya menjadi calon Presiden.

Tak sampai seminggu setelah pencontrengan Pemilu 2009, Prabowo telah menghimpun lebih 20-an dari partai gurem, untuk menyatukan gerak dengan maksud untuk mengkritisi hasil Pemilu 2009. Dia juga secara aktif bertemu tokoh-tokoh partai, mulai Megawati, lalu bahkan tak segan-segan membuka kembali komunikasi dengan musuh bebuyutannya Wiranto, dengan maksud yang sama. Apapun maksud awal pertemuan-pertemuan itu, yang pasti Prabowo telah merintis jalan dengan membuka jalur komunikasi dengan semua partai, termasuk partai-partai kecil yang sering dipandang sebelah mata. Belakangan akhirnya Prabowo “menggarap” PPP dan PAN secara lebih seirus. Rencana mengadakan pertemuan dengan petinggi PKS, ternyata gagal, karena kebimbangan PKS sendiri.

Nah, kalau kita jeli mari berhitung jumlah suara yang bisa dikumpulkan Prabowo dari seluruh 'remah-remah' suara dari sekitar 22 partai gurem yang telah dihimpun Prabowo, jumlah total partai gurem bisa terkumpul 15 persen suara, ditambah gerindra 5 persen, plus PPP dan Hanura berarti limitl 25 persen suara bisa tercapai, maka loloslah Prabowo untuk bisa mencalonkan diri menjadi Presiden 2009. Angka ini belum termasuk jika PAN bergabung. Jadi langkah Prabowo hanya tinggal finalisasi, dengan PAN. Bisa jadi Prabowo akan menawari PAN kursi Wapres, mengingat Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir memiliki keinginan kuat menjadi Cawapres. Jika PAN menerima berarti akan ada pasangan baru dari blok P, dengan pasangan Prabowo- Sutrisno Bachir.

Mega Tersingkir?

Bagaimana nasib PDIP dengan Capresnya Megawati Soekarnoputri yang meraih 15 persen suara? Nasibnya makin mengkhawatirkan. Bisa-bisa Mega gagal menggenapkan 25 persen perolehan suara untuk memenuhi persyaratan lolos pencapresan dirinya.

Lihat saja, partai yang tersisa PBB, PKS keduanya akan lebih sreg bergabung dengan SBY daripada Megawati. Sedang PAN, bisa jadi masih gamang dengan tawaran SBY, Prabowo atau Megawati . Tetapi dua yang pertama tentu akan lebih menarik bagi PAN. Kalau dengan SBY lebih aman, karena kemungkinan besar menang dan dipastikan dapat jatah 3- 4 menteri. Sedang dengan Prabowo, kemungkinan besar akan mengusung nama Sutrisno Bachir jadi Cawapres, dan ada kemungkinan bersaing dengan SBY-JK, tetapi kalau dengan Megawati kemungkinan itu lebih kecil.

Jika ini terjadi, PDIP akan ditinggalkan. Ini kembali mengulang sejarah Pemilu1999, partai pemenang Pemilu gagal mengusung Capresnya sendiri dan malah dikalahkan oleh PKB yang hanya mendapat kurang dari 10 persen suara. Jika ini terjadi , PDIP berarti ibarat peribahasa "hanya keledia yang mau terantuk batu yang sama". Maka PDIP, kembalilah belajar melakukan langkah-langkah politik yang agresif, cerdas dan taktis. Ini permainan politik, bukan langkah biasa-biasa. Dan sebagaimana politik, jangan terlalu mengikutikan perasaan dalam berpolitik. Megawati hendaknya memisahkan dendam dan perasaan melownya dalam berpolitik. Kali ini jurus soap opera tidak laku lagi dimainkan karena Megawatai tidak tak bisa lagi mengandalkan simpati rakyat seperti yang dialaminya di zaman Orde Baru lalu. PDIP hingga kini masih terkesan pasif, lamban dan jual mahal. (Siane Indriani)

Senin, 13 April 2009

ANTARA BLOK S DAN BLOK M

Kemenangan SBY sudah diambang pintu, meski harus tidak boleh takabur atau lengah. Dari hasil Pemilu 2009 sesuai dengan hasil Qiuck Count, semakin menunjukkan adanya dua kubu di dua tempat yang berseberangan. Kubu Susilo Bambang Yudhoyono (Blok S) dan kubu Megawati Soekarnoputri (Blok M)

Meeskipun belum diproklamirkan, Partai Demokrat telah menjalin komunikasi dengan Golkar dan PKB. Untuk memulai melangkah ke arah koalisi. Sedangkan kubu Megawati, mulai menggandeng Gerindra dan Hanura.

Koalisi kali ini harus permanen, karena secara saklek, KPU telah mengharuskan tanggal 10 Mei 2009 sebagai batas akhir pengajuan Capres dan Cawapres. Berarti jika nanti ada putaran kedua dalam pemilu Capres, maka komposisi pasangan Capres dan Cawapres tidak boleh berubah.

Bukan hanya itu, SBY yang kali ini akan memasuki masa pemerintahan kedua, tentu saja belajar dari pengalaman masa lalu. Dengan perolehan 7 persen bagi SBY, agak kewalahan menghadapi ulah para poltikus. Meskipun ada parpol yang telah mendapatkan jatah menteri di kabinet Pelangi , tetap saja menghajar pemerintah melalui wakilnya di DPR. Tetapi kini ketika posisi SBY amat kuat kali ini, dengan perolehan PD yang 20 persen lebih, tentu ingin memerintah dengan lebih firm.. Tak heran kali ini SBY lebih berhati-hati dalam menjalin koalisi.


INILAH BLOK S

Partai Demokrat yang nasionalis, sebenarnya merasa nyaman dengan Golkar, yang memiliki platform sama. Selain itu, untuk memperkaya dukungan kalangan Islam harus juga dirangkul. Ada Partai Keadilian Sejahtera (PKS), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), mana yang akan dirangkul, mari kita analisis satu persatu:

PKS sejak kampanye sudah mendeklarasikan SBY sebagai partner koalisinya. Malah dalam kampanyenya PKS secara akal-akalan bahkan mengusung SBY sebagai Capres, dengan slogan “PKS partainya, SBY Capresnya”. Meskipun terkesan pro SBY, sebenarnya ini karena PKS menyedarai untuk saat ini hanya SBY yang memiliki elektabilitas yang sangat tinggi dibanding kader-kader PKS. Hidayat Nurwahid atau Tifatul Sembiring, bahkan tak ada apa-apanya dibanding SBY. Tetapi langkah PKS mengusung SBY menjadi Capres, juga membuat PD merasa tidak nyaman.

Hal lain yang membuat PD tidak nyaman adalah platform PKS yang terlalu kanan. PKS yang sejak dahulu kental dengan nuansa Islam sebagai partai dakwah, bahkan terasa hendak mengarahkan konten-konten syariah Islam dalam kehidupan bernegara secara lebih kental, makin membuat kubu SBY juga tidak nyaman, karena takut ditinggalkan konstituenya yang kebanyakan nasionalis dan pluralis. Ketika belakangan tiba-tiba PKS mengubah gaya kampanyenya menjadi sangat nasionalis, bahkan ke budaya ngepop, tetap saja tidak mampu mengubah imagenya, malah terkesan hanya sekadar ‘kamuflase’.

SBY membutuhkan komuntias Islam itu pasti. Dan dalam perjalanan sejarah, peta politik sejak Pemilu 1955 hingga kini, tidak banyak mengalami perubahan, termasuk juga pola politik aliran masih tetap eksis hingga kini. Kekuatan islam yang secara riil ada dalam masyarakat kita yang dominan antara lain Nahdlatul Ulama (NU) yang diwadahi oleh PPP dan PKB yang kemudian muncul lagi PKNU, serta Muhammaduyah yang diwadahi oleh PAN, yang kemudian muncul Partai Matahari Bangsa (PMB). NU dan Muhammadiyah, dalam kultur dan konsep kenegaraannya masih dianggap lebih pluralis dibandingkan PKS.

Dari perolehan suara yang masih signifikan adalah PPP, PKB (untuk NU) dan Pan (untuk Muhammadiyah). Maka dengan demikian PPP, PKB, PAN memenuhi persyaratan dan perlu diajak berkoalisi untuk memperkuat basis pengusaan massa di akar rumput.

Hanya saja melihat karakter SBY yang agak-agak melow, pasti agak sedikit sensitif melihat 'kegenitan' Surya Dhama Ali (SDA) , Ketua Umum PPP yang mendua, karena juga menjalin hubungan Golden Triangle dengan Megawati yang tak lain seteru utama SBY. Inilah lantas menempatkan PKB jadi faktor prioritas utama merangkul warga nahdliyin, dibanding PPP. Apalagi Gus Dur, sudah tidak lagi berada di PKB, karena tidak akan lagi merepotkan SBY.

PAN agak beda dengan PPP, meskipun Sutrisno Bachir juga tidak kalah genit dari SDA, posisinya masih dibutuhkan oleh SBY untuk menjaga keseimbangan. Dengan demikian, yang agak pasti akan terjadi koalisi antara : Partai Demokrat, Golkar, PKB dan PAN yang akan mengusung SBY-JK sebagai pasangan Capres dan Cawapres


BLOK M

Megawati hingga kini masih meradang dengan kakalahannya di pemilu 2004. Maka kali ini dengan perolehan suara yang hanya 15 persen, akan bertekad memimpin koalisi dengan Prabowo (Gerindra) yang mengantongi suara 5 persen dan Wiranto (Hanura) yang meraih 3 persen suara. Jika didukung dengan PPP ( 6 persen). Akan memiliki, total suara 29 persen.

Dengan kemungkinan ini bisa saja Mega akan menempatkan Prabowo sebagai Cawapresnya. Meskipun secara matematis perolehan suaranya di bawah PPP, tetapi dari segi popularitas dan akses dana, bisa saja PPP mengalah. Wiranto, akan mengalah karena perolehan suara Hanura berada di bawah Gerindra.

Maka dari kubu Blok M akan muncul capres Megawati- Prabowo yang didukung oleh koalisi PDIP, Gerindra, PPP dan Hanura.

Ada skenario agak nekat, yang mengajukan capres-cawapres Prabowo- Puan Maharani. Ide ini diajukan jika Megawati tak lagi berniat maju menjadi Capres. Memang, sudah menjadi rahasia umum jika PDIP adalah partai yang hanya mengandalkan trah Soekarno.. Walau ide ini terlalu absurd, mengingat POuan masih terlalu hijau dibanding dengan para kader lain di PDIP, sebut saja Pramono Anung, atau Tjahyo Kumolo. Tapi ya itulah, partai ini masih mengandalkan keluarg dan Mega pasti tidak rela tiket PDIP diserahkan orang lain selain keturunan genetiknya sendiri. Tapi seharusnya para tokoh PDIP tidak hanya AIS (Asal Ibu Senang), karena menjual Prabowo-Puan......nampaknya jauh dari laku....(Siane Indriani)

KOALISI = BAGI-BAGI JATAH MENTERI

Partai Demokrat Berjaya. Semua hasil quick count dari berbagai lembaga survey menempatkan Partai Demokrat di posisi puncak , pada klesemen hasil perhitungan Pemilu legislatif 2009 dengan 20 persen lebih. Sementara Partai Golkar dan PDIP diposisi kedua- ketiga, dengan perolehan suara antara 14 – 15 persen meskipun belum pasti mana yang lebih unggul. Meskipun baru hasil quick count tetapi sebagaimana pengalaman, hasil KPU tak akan jauh dari itu.

Dengan perolehan suara 20 persen lebih, berarti Partai Demokrat telah memenuhi persyaratan untuk mengajukan Calon Presiden sendiri, tanpa harus melakukan koalisi. Tetapi realitas Politik, mengharuskan Partai Demokrat melakukan koalisi, untuk melancarkan berbagai kebijakan, agar mendapat dukungan di parlemen. Jika hanya sendirian 20 persen, bisa-bisa nanti akan dikeroyok di DPR, setiap hendak melakukan suatu kebijakan. Ini karena saat ini posisi DPR yang teramat kuat. Hampir seluruh kegiatan pemerintahan, selalu harus diputuskan atau mendapatkan persetujuan dari DPR.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapatkan suara sekitar 7-8 persen dari versi quick count, se jak awal kampanye telah bersemangat menjalin koalisi dengan Partai Demokrat. Partai Amanat Nasional (PAN) yang mendapat 5 persen suara dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapat sekitar 5 persen suara, belakangan juga dekat dengan Partai Demokrat. Kalau menghitung jumlah keempatnya, total 37 persen, masih kurang jika untuk memenangkan parlemen, minimal 51 persen kursi DPR harus ditangan jika ingin memerintah dengan lancar.


Kemanakah Golkar?

Golkar yang kali ini hanya mendapatkan sekitar 15 persen, berada dalam posisi yang paling terpuruk. Baru kali ini berada posisi di bawah 20 persen. Secara kelembagaan bisa dibilang Golkar gagal mempertahankan kedigdayaannya selama ini. Tetapi kalau toh misalnya berada di atas Partai Demokrat sekalipun, apakah Golkar akan mengajukan Calon Presiden sendiri? Jawabannya adalah belum tentu. Karena tingkat elektiabilitas JK jauh dari SBY, sementara calon lain seperti Suiltan HB X akan sulit mendapat ‘tiket’, selama ketua umum dipegang oleh JK

Meroketnya suara Partai Demokrat dari sekitar 7 persen (2004) ke 20 persen (2009) tak bisa dipungkiri atas andil popularitas SBY. Ditambah lagi faktor incumbent, yang dalam posisi diuntungkan. Dari berbagai survey faktor SBY lah yang menjadi penentu kemenangan Paertai Demokrat. Dan Golkar, yang sebenarnya memiliki konstituen yang mirip dengan PD, tentu saja akan tergerus, demikian pula PDIP.

Golkar , sepanjang sejarah tidak pernah menjadi oposisi dan tak mungkin rela melepaskan jatah kekuasaan. Maka dipastikan Golkar akan tetap sharing dengan pemegang kekuasaan, yang tidak lain adalah SBY, yang kemungkinan besar akan menjadi presiden mendatang.



Langkah koalisi, adalah hal yang harus dilakukan. Sebagaimana sebelumnya, arah koalisi ini dikonkritkan dengan pembagian jatah Wakil Presiden dan kursi menteri. Hitungannya, tentu akan dikaitkan dengan jumlah perolehen suara atau kursi. Sebagai pemegang kursi kekuasaan hitung-hitungan secara matematis ini mutlak diperlukan agar terjadi keadilan. (Siane Indriani)

Kamis, 26 Maret 2009

Koalisi: Mencermati 'Langkah Kuda' Golkar

Jika tak mampu menembus 25 persen perolehan suara nasional atau 20 persen kursi pada Pemilu 9 april 2009, maka Parpol kesulitan mengusung calon Presiden sendirian. Itu berarti harus ada koalisi dengan satu atau lebih partai lain, agar mampu menembus batas yang ditetapkan KPU. Adakah partai yang mampu? Jawabannya....sulit! Maka tak heran jika sekelas Partai Demokrat, yang konon paling yakin pun, kini mulai was-was.

Koalisi, sepertinya segera menjadi langkah yang harus disiapkan setiap parpol untuk mengusungCapres. Sepertinya para petinggi parpol, sudah mulai celingukan kesana kemari. Ada yang sok malu-malu, sok gengsi, sok membela harga diri. Munculnya Golden Triangle (Golkar-PDIP-PPP), lalu Golden Brigde (Langkah Partai Demokrat) atau Golden-golden yang lain, adalah cerminan klaim-klaim sesaat, yang sengaja dihembuskan untuk saling menaikkan bargaining position partai. Namun yang bicara, pastilah hasil rapor 9 April nanti...

Prediksi saya, semua partai akan bisa melakukan koalisi kecuali PDI Perjuangan dengan Partai Demokrat. Karena yang ada sekarang Partai Politik dibentuk untuk kekuasaan. Maka kekuasaan nantinya adalah dibentuk secara koalisi, seperti yang telah berlangsung sekarang. PDI Perjuangan memilih oposisi, lebih karena faktor emosi personal dari Mega. Di Indonesia sebenarnya belum pernah ada partai oposisi, karena secara pragmatis akan merugikan bagi berlangsungnya eksistensi Parpol, karena terputusnya pula akses dana parpol. Di Indonesia, sudah lazim jika dana parpol sebagaian besar didapat dari anggaran pemerintah (atau berbagai keuntungan yang diperoleh dari proyek-proyek pemerintah). Walaupun sebenarnya kehadiran oposisi sangat diperlukan untuk menyeimbang suara di DPR dan menjadi pengontrol yang efektif bagi berbagai kebijakan pemerintah jika dipandang tidak pro rakyat.

Mega dan PDIP, sekali lagi harus memutuskan tetap menjadi oposisi jika kalah dalam Pemilu 2009. Kita lihat saja seberapa tahan partai ini, ikut menanggung sikap emosional seorang Mega yang demikian mendalam terhadap SBY. Hanya saja, jika Mega menang, lain lagi persoalannya.

SBY-JK pecah kongsi?

JK sebenarnya tidak ingin pecah kongsi dengan SBY, karena selama masa pemerintahannya JK cukup banyak ikut berperan dalam berbagai kebijakan ekonomi (kenaikan harga BBM, konversi minyak tanah ke gas, BLT, PNPM, dll). Apalagi pada Pemilu 2004 sebenarnya JK harus berterima kasih pada SBY yang mengajak JK jadi Wapresnya, tanpa melalui Golkar sebagai institusi. Sedang Golkar secara resmi mencalonkan Wiranto, yang memenangkan konvensi didampingi Solahudin Wahid. Langkah JK sebenarnya bisa merugikan Golkar secara instutusi, yang telah mencalonkan Wiranto. Tetapi Akbar Tanjung juga tidak bisa berbuat apa-apa. Selain secara pribadi sebenarnya juga tidak sreg dengan pencalonan Wiranto, juga tidak berupaya melarang JK maju dengan SBY..wong secara politik menguntungkan Golkar, karena bisa bermain di dua kaki.

Maka ketika SBY-JK terpilih menjadi Presiden dan Wapres, JK makin "pintar" memainkan kartunya. JK pada akhirnya merebut kursi tertinggi sebagai ketua Umum Golkar dari tangan Akbar Tanjung. Ini menjadi satu lagi keuntungan yang didapat JK dari jabatannya menjadi Wapres.

Nah, kalau kemudian JK mencalonkan diri sendiri sebagai Calon Presiden, memang tak sengaja. Ini tak lain karena tersinggung dengan pernyataan seorang pengurus partai Demokrat yang "mengejek" Golkar hanya akan meraih 2,5 persen suara di Pemilu 2009 ini. JK ikut meradang, lantas segera mengumumkan diri maju sebagai Calon Presiden dari Partai Golkar. Namun JK memang tahu diri. Elektabilitsanya yang rendah dibanding SBY dan Mega, membuatnya harus lebih hati-hati dalam melangkah. Semula JK sempat bimbang. Mau maju Capres repot, nggak maju nanti petinggi Golkar protes. Akhirnya JK pun nekat, maju jadi Capres. Yang penting menyelamatkan Golkar, sesuai kebutuhan untuk saat ini. Golkar harus mengajukan Capres sendiri, untuk mendongkrak kembali suara Golkar.

Aneh memang jika sebesar Golkar, partai pemenang, yang mampu meraih 21,62 persen suara pada Pemilu 2004, tidak memiliki calon Presiden sendiri dan hanya puas dengan cawapres dari Partai Demokrat yang hanya meraih 7,46 suara dalam Pemilu 2004. Dan bagi Golkar, akan kehilangan banyak suara jika hanya terus 'nebeng' dibalik nama SBY.

Maka sebagaimana kehendak DPD, maka disepakati partai Golkar akan mengusung Capresnya sendiri. Hanya saja, kemudian seolah-olah berbelok Capresnya adalah JK......(padahal konon ada beberapa Capres yang akan diusung termasyuk Sultan Hamengku Buwono X, tetapi kemudian dikatakan akan diputuskan pada Rapim setelah Pemilu caleg).

Bola sudah bergulir, partai Golkar telah memiliki JK sebagai (salah satu?) Capres. tetapi kemana jika perolehan suara Golkar tidak sampai 20 persen? Ya, satu-satunya cara yaitu koalisi. Yang pasti Golkar tidak pernah dan tidak ingin menjadi oposisi. Golkar selalu ikut serta merebut kekuasaan, jika tidak bisa meraih yang tertinggi, nanti Golkar pasti akan banyak akal. Kalau realitas politik tidak memungkinkan Golkar mengusung Capres, ya setidaknya Cawapres, kalau tidak ya, dibanyakin Menteri-menterinya. Yang penting, tetap ikut berada di pemerintahan alias berkuasa. titik.

Langkah kuda pun mulai dijalankan. Mendekati PDI Perjuangan, PKS, PPP serta partai-partai lainnya. Langkah ini dilakukan untuk membuka akses, agar tidak kagok alias mati langkah ketika hasil Pemilu 9 April 2009 bicara. Golkar akan menjadi bandul kekuasaan, yang bisa ke kiri dan ke kanan. Bisa ke SBY atau ke Mega. Dua Capres yang selalu mendominasi berbagai hasil polling tertinggi untuk Capres 2009.

Maka benarkah SBY-JK pecah? Lihat saja dalam tubuh DPP nya, ada banyak faksi yang bermain di banyak kaki, ibarat binatang kaki "seribu"tetapi bukan cuma kaki, Golkar bisa memiliki "seribu" wajah pula. Bisa saja SBY-JK kembali berduet, atau berbagai kemungkinan lain. Tak ada yang tak mungkin bagi Golkar untuk ikut berada di panggung kekuasaan. Yang jelas politik tetaplah Politik. Kalau pakai bahasa Politik yang penting adalah bagaimana melangkah sekarang, langkah berikutnya urusan nanti. Sekarang JK Capres, tetapi kalau nanti ya lihat saja....soal sudah janji pada konstituen, kalau akan mengusung Capres JK, ya kan bisa saja bilang...." Realitas politik menghendaki demikian...". Apa boleh buat.

(Catatan saya menunjukkan Golkar-lah yang menjadi kunci utama kemenangan KH Abdurrahman Wahid pada Sidang Umum MPR 1999, sehingga mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Hanya dua jam menjelang pemungutan suara, suara Golkar berpindah dari Mega ke Gus Dur)

.

Kampanye

Musim kampanye tiba, sebagaimana biasanya kampanye identik dengan arak-arakan, panggung dengan penampilan para artis, yang diselipi orasi berbusa-busa para jurkam (juru kampanye). Ada yang berbeda dari Pemilu 2004 lalu, kali ini (karena keputusan Mahkamah Konstitusi) maka yang dicontreng (tak lagi dicoblos seperti Pemilu 2004) adalah figur-figur alias nama-nama Caleg.

Yah, karena yang bersaing bukan cuma antar Partai, tetapi juga antar Caleg nama kampanye kali ini, juga agak lain. Nomor urut yang semula ditentukan oleh partai, kini tak berlaku lagi. Maka berarti Pemilu 2009 murni distrik tidak lagi memilih partai tetapi memilihi orang. Masing-masing Caleg, boleh dibilang wajib berjuang, berkampanye, bahkan bisa jadi membiayai sendiri, agar bisa meraih suara sebanyak-banyaknya. Tak heran jika spanduk-spanduk yang memenuhi sepanjang jalanan, pohon-pohon, bahkan yang ditempel di sembarang tempat diisi dengan penuh warna. Ada foto diri, dengan berbagai pose, nama diri lengkap dengan tanda contreng merah, nomor urut caleg, nomor urut parpol serta gambar parpol. Wah, pokoknya ruwet dan bikin bingung.

Nah kalau melihat setiap hari di TV, berita-berita kampanye ya begitu-begitu aja. Orasi-orasi para jurkam, ditengah ribuan orang, menghadirkan artis-artis penyanyi. Partai Demokrat yang mengusung SBY adalah yang paling kuat modalnya. Maka tak heran jika Partai Demokrat mampu menyewa Stadion Gelora Bung Karno sebagai tempat berkampanye plus memenuhinya dengan lebih dari puluhan ribu pendukung lengkap dengan sound system yang prima dan tim artis-artis top ibukota . Toh meski berkapasitas 120 ribu orang, yang datang hanya separuhnya saja. Itupun mereka hanya bertahan beberapa jam, karena kepanasan. Untung ada Changcuters, Dewi Yul, Edwin, Jodi, yang mampu sedikit menyegarkan suasana. Orasi SBY, nampaknya kurang bisa mengajak mereka mau bertahan lama. Maka SBY yang sebelumnya dijadwalkan tampil 3 kali termasuk menyanyi "Sempurna", nya Andra& the backbone, akhirnya hanya orasi hanya sekali, itupun dengan durasi hanya beberapa menit saja. Setiap kampanye SBY menampilkan tim kompak. Selain Ani Yudhoyono (isteri), Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo (ipar) tak ketinggalan Edi Bhaskoro Yudhoyono (anak), selalu berada di barisan pertama mendampingi SBY di panggung kampanye.


PDIP juga berkampanye dengan cara yang sama. Bedanya Megawati Soekarnoputri (yang juga didampingi Taufik Kiemas (suami) dan kadang-kadang Puan Maharani (anak), selalu tampil emosional. Sebagian besar isi kampanyenya adalah kritik terhadap SBY. Mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kata Mega tidak mendidik dan menganggap rakyat seperti pengemis, hingga langkah pemerintah yang seperti yoyo, tingginya harga sembako, dll. Namun belakangan Mega mulai kikuk dengan kritiknya terhadap BLT, yang disinyalir malah bisa memukul balik partainya, karena dianggap tidak pro wong cilik, akhirnya Mega berbelok arah. Dari semula yang "anti BLT", menjadi "akan mengawasi" penyaluran BLT.

Kampanye di TV, lebih efektif?
Yang partai besar (Modal besar-red) macam Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, PKS dan sekarang bertambah dengan Gerindra, saling bersaing membuat iklan yang diputar sebanyak-banyaknya di TV. Kampanye melalui iklan TV masih dipandang sebagai kampanye yang paling efektif, dibanding pawai atau rapat akbar.

Setidaknya kampanye TV melalui PSA dimulai oleh Sutrisno Bachir (SB). Sejak jauh-jauh dari SB amat gencar mengenalkan siapa dirinya, melalui PSA. "Hidup adalah Perjuangan...", katanya mengutip sebait sajak Khairil Anwar. Lalu disusul Rizal Malarangeng, yang juga aktif kampanye "menjual" diri di TV entah untuk apa.

Prabowo, melalui TV juga sedikit banyak mencuri simpati publik. Image Prabowo di TV adalah seorang yang amat peduli dengan kesejahteraan, concern dengan petani, pedagang tradisional serta produk dalam negeri. Image baru Prabowo, seolah menghapus masa lalu Prabowo.

Kampanye, ya namanya juga kampanye...yang dijual adalah janji-janji..sama seperti menjual kecap....pasti tidak ada yang menjual kecap nomor 2....